SELAMAT DATANG

SEMOGA INFORMASI DALAM BLOG SAYA DAPAT BERMANFAAT

Selasa, 22 Februari 2011

Reaksi Hipersensitivitas (created by Mursalin PSIK UNSRI 2007)

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik yang terjadi akibat respon imun yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Kerusakan yang terjadi pada jaringan host adalah konsekuensi dari hipersensitivitas dari reaksi imun. Terminologi sensitivitas, alergi dan hipersensitivitas adalah pengertian yang sama. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah kontak yang kedua deengan antigen spesifik (allergen). Kontak yang pertama kali merupakan kejadian yang diperlukan untuk menginduksi sensitasi terhadap allergen tersebut.
Hipersensitivitas terbagi menjadi 4 kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif.

  1. Reaksi Hipersensitivitas tipe I ( Reaksi cepat/anafilaksis)

Reaksi Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengna antibody yang sesuai.Ini dapat terjadi sebagai anfilaksis sistemetik (misalnya setelah pemberian protei heterolog) atau sebagai reaksi local (misalnya alergi atopik seperti demam hay). Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe cepat dimulai ketika antigen menginduksi pembentukan IgE, yang terikat kuat dengan reseptor pada sel basofil dan sel mast melalui bagian Fc antibody tersebut. Beberapa saat kemudian kontak yang kedua dengan allergen yang sama mengakibatkan fiksasi anti gen ke IgE yang terikat ke sel dan pelepasan mediator yang aktif secara farmakologis dari sel tersebut dalam waktu beberapa menit.

Reaksi ini meliputi 3 fase yaitu:
a.Fase sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit atau basofil. IgE yang dibentuk biasanya dalam jumlah yang sedikit, yang diikat oleh sel mastosit atau basofil untuk beberapa minggu.
b.Fase aktivasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mastosit melepaskan isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Dalam fase aktivasi terjadi perubahan dalam membran sela akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti influks.
c.Fase efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mastosit dengan aktivitas farmakologik.
Respons yang terjadi menyerupai alergi Hay Fever atau yang dapat mengancam jiwa seperti anafilatik shock terhadap penicillin.
Reaksi yang terjadi pada tipe ini yaitu:
-Eritem : Kemerahan karena dilatasi vascular
-Edem : Pembengkakan yang disebabkan masuknya serum ke dalam jaringan tubuh.
-Pada fase aktivasi, terjadi perubahan membrane sel akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti influks Ca2+
Contoh-contoh penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan oleh allergen :
-          Asma bronchial
-          Rinitis
-          Dermatitis atopi

  1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)

Hipersensitiviyas tipe ini melibatkan pengikatan antibody (IgG dan IgM) ke antigen permukaan sel atau molekul matriks ekstraseluler. Antibody ini akan mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ R sebagai efektor Antibody Dependen Cellular Cytotoxicity (ADCC). Ikatan antigen-antibody akan mengaktifkan komplemen ( melalui reseptor C3B), memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis.
            Hasil akhir reaksi ini sama dengan Tipe I yaitu: terjadi pelepasan histamine dan bahan-bahan vasoaktif lain. Perbedaanya di sini antigen merupakan bagian dari atau melekat pada sel yang mengandung bahan vasoaktif. Antibody (biasanya IgG atau IgM) akan bereaksi dengan antigen permukaan tersebut yang mengakibatkan kerusakan membrane sel dan pelepasan bahan-bahan vasoaktif, tetapi tidak didapatkan laporan tentang reaksi yang disebabkan oleh melekatnya produk korosi atau degradasi biomaterial pada permukaan sel.
Contoh reaksi tipe II:
-          Destruksi SDM akibat reaksi transfusi
Reaksi ini merupakan bentuk paling sederhana dari reaksi sitotoksik akibat dari ketidakcocokan transfusi darah system ABO yang akan menghancurkan eritrosit dalam vaskuler.
-          Anemia hemolitik
Terjadi akibat suatu infeksi sehingga terbentuk Ig terhadap SDM sendiri.
      -     Reaksi obat
Terjadi akibat hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik.
-          Sindrom Goodpasture
Penyakit autoimun yang membentuk antibody terhadap membrane basal glomerulus dan paru.Sering ditemukan setelah infeksi Sterptococcus Sp.
-          Myasthenia Gravis
Yaitu penyakit lemah otot karena gangguan transmisi neuromuscular, sebagian disebabkan oleh auto antibody terhadap reseptor asetilkolin.
-          Pempigus
Terbentuk antibody terhadap desmosom diantara keratinosit sehingga terjadi pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe 3 (Reaksi Kompleks Imun)

            Ketika antibody bergabung dengan antigennya yang spesifik, terbentuk kompleks imun. Secara normal, kompleks tersebut akan dibuang oleh system retikuloendotelial, tetapi kadang-kadang kompleks tersebut masih ada dan dideposisi di jaringan-jaringan, dan mengakibatkan terjadinya beberapa gangguan. Terjadi bila kompleks antigen-antibody ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh darah atau jaringan yang mengaktifkan komplemen C3a dan C5a. Antibody yang berperan yaitu IgM dan IgG. Antigen dapat berasal dari:
-          Kuman pathogen yang persisten (malaria)
-          Bahan yang terhirup (spora jamur)
-          Jaringan sendiri (penyakit autoimun)
Reaksi ini merupakan hasil presipitasi kompleks antigen antibody. Dengan paparan yang lama, organ-organ seperti ginjal, paru-paru, jantung dan persendian secara permanent dapat dipengaruhinya.
            Presipitat dapat menyumbat pembuluh darah kecil ,menyebabkan aktivasi system komplemen dan respon implamasi nonspesifik yang menyebabkan kerusakan pada bagian tersebut. Hipersensitivitas tipe I,II,III diperantarai oleh antibody dan dapat timbul dalam waktu beberapa menit atau jam dari reaksi tersebut. Tipe-tipe tersebut diklasifikasikan sebagai reaksi hipersensitivitas humoral atau immediate.
Reaksi Tipe 2 mempunyai dua bentuk :
-          Reaksi Arthus
Reaksi ini secara local dan khas terjadi di kulit ketika dosis rendah antigen di suntikan dan terbentuk kompleks imun secara local.Antibodi IgG terlibat dalam proses tersebut  dan  aktivasi komplemen yang terjadi menyebabkan pelepasan mediator dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Ini secara khas terjadi dalam 4-10 jam.
-          Reaksi serum sickness
Reaksi ini menyebabkan penyakit serum.Setelah injeksi serum asing (obat tertentu),antigen dibersihkan dan di sirkulasi secara perlahan-lahan dan produksi antibodipun dimulai. Adanya antigen dan sntibodi secara simultan ,mengakibatkan produksi kompleks imun yang dapat bersirkulasiatau dideposisi di berbagai tempat. Penyakit serum yang khas menyebabkan demam, urtikaria,artralgia limfadenopati dan splenomegali, beberapa hari sampai 2 minggu setelah injeksi serum asing.
Contoh reaksi yang disertai kompleks imun adalah:
-          Demam reuma
-          Farmers Lung

4.Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV ( Reaksi Hipersensitivitas Lambat)

            Hipersensitivitas tipe lambat merupakan fungsi dari limfosit T tersensitisasi secara spesifik,bukan merupakan fungsi antibody. Reaksi imun ini lambat,yakni respon ini dimulai beberapa jam (beberapa hari) setelah kontak dengan antigen dan sering berlangsung selama berhari-hari.
 Jenis antigen pada reaksi ini :
-     jaringan asing,
-     mikroorganisme intraseluler (virus,mycobakteri),
-     Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.
            Pada reaksi ini tidak ada peranan antibody. Ini merupakan Cell Immediate Sensitivity . Pada reaksi hipersensitivitas tipe I,II,dan III yang berperan adalah antibody (imunitas humoral) sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah Liomfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka ( sensitized T Lynphocyte) bereaksi dengan antigen dan menyebabkan terlepasnya mediator (Limfokin) yang berakibat terjadinya peradangan local subkutan atau musculus yang menyebabkan peningkatan masa jaringan yang dapat kita palpasi (teraba). Reaksi ini sering memerlukan waktu berhari-hari,dikenal sebagai delayed hypersensitivity. Pada beberapa individu , terjadi sensitivitas kontak terhadap komponen biomaterial.

Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu:
a. Reaksi Jones Mote (JM)
            Reaksi ini ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi ini timbul oleh karena terdapat antigen yang larut dan oleh limfosit yang peka terhadap siklofosfamide. Reaksi ini terjadi sesudah 24 jam.
b. Dermatitis kontak dan Hipersensitivitas kontak
            Hipersensitivitas kontak terjadi setelah sensisitasi dengan zat kimia sederhana (misalnya nikel,formaldehid), bahan-bahan kimia, bahan-bahan tumbuhan (racun pohon oak), obat yang digunakan secara topical (misalnya sulfonamide,neosin). Molekul-molekul kecil masuk ke dalam kulit dan kemudian bereaksi sebagai hapten,melekat pada protein tubuh dan bertindak sebagai antigen komplit. Hipersensitivitas yang diperantarai oleh sel terinduksi, khususnya di kulit. Ketika kulit kembali kontak dengan agen penyebab hipersensitivitas tersebut, orang yang sensitive mengalami erotema, gatal, vesikulasi, eksema, atau nekrosis kulit dalam waktu 14-28 jam. Dermatitis kontak adalah dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak dengan allergen.

c. Reaksi Tuberkulin
            Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroorganisme terjadi pada banyak penyakit infeksi dan telah digunakan sebagai alat bantu diagnosis. Seperti yang terjadi pada reaksi tuberculin. Reaksi ini terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Kemudian setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah sehingga menyebabkan hubungan serat-serat kolagen kulit rusak
d. Reaksi Granuloma
            Reaksi yang menyusul respon akut dimana terjadi influks monasit,neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan terkontrol neutrofil dikerahkan lagi dan berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuclear yaitu sel monosit, sel makrofag , sel limfosit dan sel plasma yang menyebabkan gambaran patologik dari inflamasi kronik, monosit dan makrofag yang berperan:
-          Menelan dan mecerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.
-          Modulasi respons imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin
-          Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel yang berperan dalam informasi melalui sekresi sitokin.

            Jadi di dalam inflamasi kronik, terjadilah fagosit makrofag debris seluler dan bahan,bahan yang belum disingkirkan oleh neutrofil. Hal ini akan menyebabkan struktur jaringan menjadi normal kembali atau menjadi fibrosis dengan struktur dan fungsi yang berubah. Ditandai dengan pembentukan Granuloma yang terdiri dari sel-sel berinti tunggal yang telah berubah,histiosit,sel-sel epiteloid dan sel-sel datia benda asing. Reaksi ini memerlukan waktu yang lebih lama daripada hipersensitivitas tipe lambat dan membutuhkan zat-zat yang sulit larut. Peristiwa ini terjadi pada tuberculosis, lepra jenis tuberkuloid dll.

Reaksi cepat memiliki ciri-ciri:
1. Timbul dan hilangnya dengan cepat
2. Diinduksikan oleh antigen melalui berbagai saluran
3. Ada antibody yang berperan dan beredar pada reaksi ini.
4. Dapat dipindahkan secara pasif melalui serum
5. Mudah di lakukan desensisasai tetapi hanya sementara
6. Lesi-lesi berupa eksudasi akut dan nekrosis lemak
7. Terjadi edema dan kemerahan debgan ukuran maksimum yang terjadi dalam waktu 6 jam.
Reaksi lambat memiliki ciri-ciri:
1. Timbul perlahan-lahan dan bertahan lama
2. Terinduksi oleh infeksi, suntikan antigen melaui kontak pada kulit
3. Reaksi dipengaruhi oleh sel dan tidak dipengaruhi oleh antibody
4. Dapat dipindahkan denagn pemindahan limposit
5. Sulit dilakukan desentisasi tetapi akan berlangsung lama
6. Sel-sel berinti tunggal menggumul di sekitar pembuluh darah
7. Eritema dan indurasi dengan ukuran maksimim yang terjadi dalam waktu 24 jam
   sampai 48 jam.

SEMOGA BERMANFAAT...SILAKAN POST-COMMENT BILA ADA YANG INGIN DITANYAKAN....TRIM'S

AIDS dan penyebarannya di Indonesia (created by Mursalin PSIK UNSRI 2007)

AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome)

A. Pendahuluan
AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam lima tahun. Pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat yang diduga kuat terjalin melalui hubungan seksual. Pada tahun 1982-1983 diketahui adanya transmisi di luar jalur hubungan seksual, yaitu melalui transfusi darah, pengguna jarum suntik secara bersama oleh para pengguna narkotika suntik.
Adanya pola transmisi yang berkembang selain hanya transmisi seksual, transmisi non-seksual melalui mekanisme transmisi parenteral dan transmisi transplasental (dari ibu kepada janinnya) menjadi ancaman baru yang melahirkan korban yang tidak berdosa.

B. Deskripsi Penyakit
Penyakit ini pertama kali muncul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat pada tahun 1978. Pada tahun 1982, CDC (Centers for Desease Control) Amerika Serikat untuk pertama kalinya membuat definisi kasus AIDS. Pada tahun 1982-1983 mulai diketahui adanya 1982-1983 diketahui adanya transmisi di luar jalur hubungan seksual, yaitu melalui transfusi darah, pengguna jarum suntik secara bersama oleh para penyalah guna narkotika suntik.
Pada tahun1984 diketahui adanya transmisi heteroseksual di Afrika dan pada tahun yang sama diketahui bahwa HIV menyerang sel limfosit T penolong. Amerika Serikat menemukan HTLV III (Human T cell lymphotropic virus type III) sebagai penyebab kelainan ini. Pada tahun 1985 ditemukan antigen untuk melakukan tes ELISA, pada tahun itu juga diketahui bahwa HIV juga menyerang sel otak. Pada tahun 1986 International Comitte on Taxonomy of Viruses memutuskan nama penyebab penyakit AIDS adalah HIVsebagai pengganti nama LAV dan HTLV III.
September 1987, definisi yang terakhir ternyata juga melibatkan kelainan enselofati, sindroma buangan, HIV dan penyakit-penyakit lainnya menunjukkan adanya AIDS. Pada bulan Desember 1992 CDC telah mempublikasikan definisi AIDS yang lebih luas lagi yang dianggap mulai berlaku Januari 1993. The World Health Organization (WHO) secara terus-menerus memakai definisi CDC (1987) sebagai alat untuk pengawasan di negara berkembang.
C. Metodologi Analisis Epidemologi
              Metode yang digunakan untuk memantau infeksi penyakit HIV/AIDS adalah dengan menggunakan sero survelan AIDS. Adapun pelaksanaan surveilans meliputi hal seperti dibawah ini :
a.       Memeriksa prevalensi dan distribusi infeksi HIV pada kelompok masyarakat dan wilayah tertentu
b.      Memantau perubahan prevalensi (yaitu insidens) dan distribusi infeksi HIV pada kelompok masyarakat tertentu
c.       Melakukan perbandingan dengan kelompok masyarakat dan wilayah tertentu
d.      Menentukan data dasar dari mana tren penyakit dapat dipantau
e.       Memperkirakan jumlah infeksi HIV secara keseluruhan
f.       Evaluasi terhadap program pencegahan dan pemberantasan infeksi HIV
g.      Memantau penyebaran infeksi HIV di wilayah yang baru terinfeksi HIV
h.      Mengetahui kelompok-kelompok masyarakat yang rentan berisiko tinggi untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan program
i.        Memantau tinbulnya kembali infeksi HIV pda satu kelompok masyarakat tertentu setelah menghilang beberapa saat.

D. Deskripsi Epidemologi
                        AIDS  adalah suatu penyakit yang dengan cepat telah menyebar ke seluruh dunia (pandemik).  AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam lima tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderitaakan meninggal. Pda populasi normal Adult Mortality Rate  adalah 50/10.000, bila sero prevalens infeksi HIV adalah 10% maka dalam lima tahun mendatang Adult Mortality Rate ini akan meningkat dua kalinya menjadi 100/100.000.

1.      Insidens
      Prevalensi AIDS per 100.000 penduduk secara nasional sebesar 0,68% tertinggi pada Provinsi Papua yaitu 22,88% karena populasi Papua relative sedikit ( 33,65 kali angka nasional), DKI Jakarta 4,17% (6,13 kali angka nasional), Bali 2,42% (3,56 kali angka nasional), Riau 1,54%, KalBar 1,15%, Sulut 1,06%, dan Maluku 0,7%. Kasus yang dilaporkan telah meninggal dunia sebesar 34,94%.

2.      Epidemik
      Factor utama penularan adalah hubungan seksual (heteroseksual) namun dalam 2 tahun terakhir, penularan melalui penggunaan napza suntik cenderung meningkat. Tren penularan yang terbesar pada kelompok heteroseksual sebanyak 694 kasus, diikuti IDU 360 kasus dan heteroseksual sebanyak 128 kasus.

3.      Distribusi Geografi
      Hasil survey dibeberapa provinsi di Indonesia pada kelompok WPS cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Prevalensi berkisar antara 0-26,5% tertinggi pada kelompok WPS di Provinsi Papua.

4.      Usia, Jenis Kelamin, Ras
      Sampai dengan akhir Desember 2003 dilaporkan dan tercatat 1.371 kasus AIDS dan 2.720 kasus yang terinfeksi HIV dan 355 merupakan kasus baru yang sampai saat ini menunjukkan tren yang meningkat.

E. Mekanisme dan Cara Transmisi
       Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat pada tahun 1978
       Pada tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasus-kasusnya sarcoma kaposi dan penyakit-penyakit infeksi yang jarang terjadi di Eropa. Penyakit itu menyerang orang-orang Afrika yang bermukim di Eropa
       Pada tahun 1981 Amerika Serikat melaporkan kasus sarcoma kaposi dan penyakit infeksi yang jarang terjadi pada kaum homoseksual
       Pada tahun 1982-1983 mulai diketahui adanya transmisi di luar jalur hubungan seksual
       Pada tahun 1984 diketahui transmisi heteroseksual di Afrika.


Pola transmisi AIDS
Pola
Seksual
Darah
Ibu-Anak
Negara
I
Homo +++
Hetero +
Penyalahgunaan narkotika suntik
Jarang karena hetero seksual sedikit
Amerika utara, Eropa Barat, Australia, New zealand, Amerika Latin
II
Hetero +++
Transfusi jarum suntik
Banyak
Afrika Sub Sahara, Karibia
III
Insiden rendah hubungan seksual dengan orang asing. Transmisi dengan orang senegara
Komponen darah.
Penyalahgunaan narkotika suntik
Sangat jarang karena insidens masih rendah
Eropa Timur, Afrika Utara, Timur Tengah, Asia dan Fasifik
Catatan: (+) menyatakan jumlah segala gradual

F. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

1.       Program Nasional Pencegahan dan Pemberantasan AIDS
Sesuai dengan imbauan WHO/GPA yang diperkuat oleh keputusan sidang WHA yang ke-40 di Jenewa (Mei 1987), yang menyatakan bahwa setiap Negara anggota perlu melaksanakan Program Nasional Pencegahan dan Pemberantasan AIDS, maka sejak dari situ Indonesia telah ikut serta dalam program ini.

2.      Kebijaksanaan Pemerintah dalam Program Pencegahan dan Pemberantasan AIDS
a)      Kebijakan Umum
o   Penanggulangan AIDS dilakukan secara terpadu baik lintas sektoral maupun lintas program. Sesuai wewenang serta fungsi unit tersebut dalam kaitannya dengan AIDS.
o   Tidak perlu resah bersikaplah terbuka tetapi selalu waspada.
o   Menetapkan masalah AIDS pada proforsi  yang             wajar sebagai masalah kesehatan penyakit biasa.
o   AIDS tidak dikhususkan dalam pemberantasannya, tetapi tetap ditangani oleh unit sistem pelayanan kesehatan yang sudah ada.
b) Kebijakan Khusus
o   Dalam upaya mendiagnosis AIDS di Indonesia digunakan defenisi menurut kriteria WHO/CDC Atlanta ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium.
o   Pemeriksaan antibodi terhadap infeksi virus HIV untuk skrining donor darah belum dianggap perlu sampai saat ini.
o   Produk darah yang diimpor maupun yang dibuat dalam negeri harus memenuhi persyaratan bebas AIDS.
o   Interpretasi terhadap hasil uji laboratorium positif dilakukan dengna hati-hati.
o   Kerahasiaan pribadi penderita AIDS harus dipegang teguh.
o   Pendidikan kesehatan merupakan upaya terpenting saat ini dalam rangka pencegahan dan pemberantasan AIDS.

3.       Strategi pencegahan dan Pemberantasan AIDS
a)    Pencegahan Penularan Melalui Hubungan Seksual
Dalam rangka ini dianjurkan tiga hal yang berkaitan dengan perilaku sehat sebagai berikut:
§  Mengadakan hubungan seksual dengan jumlah pasangan yang terbatas. Maka resiko terinfeksi dengan HIV juga berkurang.
§  Memilih pasangan seksual yang mempunyai resiko rendah terhadap infeksi HIV.
§  Mempraktikkan protective sex
b)    Pencegahan Penularan Melalui Darah
Penularan melalui darah cukup besar kejadiannya, umumnya terjadi melalui beberapa hal berikut:
§  Transfusi darah
§  Alat suntik dan alat-alat yang lain yang dapat melukai kulit
§  Penularan infeksi HIV melalui alat suntik yang tidak steril dan dipakai bersama
§  Petugas kesehatan yang merawat penderita AIDS mempunyai kemungkinan terpapar oleh cairan tubuh penderita.
c)    Pencegahan Penularan dari Ibu-Anak( Perinatal ) Cara pencegahan
Penularan HIV perinatal memerlukan pendidikan atau penyuluhan kesehatan masyarakat yang luas dan intensif dengan memberitahukan  resiko kehamilan atau melahirkan pada ibu yang sero positif HIV.
d)    Mengurangi dampak negatif Infeksi HIV
Upaya ini dilakukan terhadap individu, golongan, maupun masyarakat pada umumnya. Kepada mereka perlu diberikan pendidikan/penyuluhan, konseling, atau cara lain untuk menyelesaikan  masalah yang dihadapi terutama kepada yang HIV positif, baik dengan gejala maupun tidak dan juga dengan pasangan seksual, keluarga, dan lingkungannya.

4.       Pengobatan / Treatment
a)    Terhadap Etiologi
Meningkatnya pengetahuan tentang etiologi AIDS dan dalam kaitannya dengan pengobatan rupanya tidak menunjukkan hal yang menggembirakan. Beberapa obat telah dicoba antara lain sebagai berikut:
o   Zidovudine(Azidothymidine), mempuyai efek mempengaruhi proses replikasi virus,
o   Suramin, HPA 23, Ribavirin, terbukti menghambat replikasi virus,
o   Foscarnet, masih dalam tahap penelitian.
b)    Terhadap Infeksi Sekunder
Pada umumnya penderita AIDS menderita infeksi berat, multipel dan berulang. Respons pengobatan sering kali buruk karena adanya strain yang resisten. Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii, toxoplasma, dan cryptotosporidium), jamur (kandidiasis), virus (herpes, cytomegalovirus/CMV, papovirus) dan bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellulare, streptococcus, dll). Penanganan terhadap infeksi sekunder ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya, diberikan terus menerus sampai gejala infeksi sekunder menghilang dan tidak menimbulkan komplikasi lebih lanjut.


c)    Mengatasi Status Defisiensi Immun
Sampai saat ini belum ditemukan adanya obat-obatan yang dapat meningkatkan status immun penderita AIDS. Obat yang sampai sekarang masih diuji adalah sebagai berikut:
o   Biological respons modiflier,
o   Immunomodular agent, misalnya Isoprinosine.

5.       Immunisasi/Pemberian Vaksin
Walaupun saat ini kemungkinan pemberian vaksin sedang dikembangkan dan ditujukan untuk mencegah infeksi oleh HIV, tetapi prospek penggunaan dalam waktu yang dekat agak sulit untuk direalisasikan. Adanya variasi yang bermacam-macam pada struktur setiap strain HIV mempersulit keberhasilan kerja vaksin. Keadaan ini disebabkan oleh virus HIV dapat berpindah dari sel ke sel sehingga induksi vaksin oleh sistem immun humoral atau selular tampaknya tidak dapat mencegah infeksi pada sel yang rentan.
Saat ini percobaan terhadap vaksin HIV sedang dilakukan di berbagai negara dan telah ada yang menemukan sebuah vaksin yang dapat mencegah infeksi pada primata selain manusia. Perkembangan pada percobaan vaksin ini tampaknya tidak dapat berjalan dengan cepat dan meskipun berhasil akan membutuhkan waktu paling sedikit 5-10 tahun. Percobaan penggunaan vaksin secara terapeutik pada pasien yang terinfeksi oleh virus HIV sedang diuji keefektifannya pada manusia. Informasi yang lebih banyak mengenai virus ini sangat diperlukan dalam percobaan-percobaan yang dilakukan untuk memperoleh hasil yang bermanfaat.

G. Masalah yang Belum Dapat Diselesaikan
1. Situasi Global
Pada hampir seluruh pelosok dunia, mereka yang terinfeksi baru adalah kaum muda yang berumur antara 15 dan 24 tahun, terkadang lebih muda lagi. Bukan hanya disebabkan mereka secara seksual mulai aktif, tetapi 60% dari semua infeksi baru pada perempuan dimulai sebelum umur 20 tahun. Dengan demikian, tergambar pada kita bahwa periode antara masuknya virus dan penyakit infeksi yang menyertainya datang di awal kehidupan produktif sehingga dalam masa panjang harus berupaya penuh untuk menjaga kesehatannya karena remaja merupakan masa krisis terpapar HIV.
Para ahli memproyeksikan akan ada tambahan baru orang terinfeksi HIV di 126 negara berpenghasilan rendah dan menengah (sekarang disebut sebagai epidemi terkonsentrasi atau generalisasi) antara tahun 2002 dan 2010 bilamana dunia tidak sukses menurunkan angka kesakitan secara drastis dan luas dengan upaya pencegahan global. Lebih dari 40% infeksi itu berlangsung di Asia dan Pasifik.

2. Situasi Regional HIV/AIDS
Kawasan Asia dan Pasifik merupakan wilayah yang cepat berkembang infeksi HIV-nya, hampir 60% dari populasi dunia. Oleh karena itu, meski prevalensi rendah di wilayah ini, akan terus bertambah populasi  baru ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dan gerbang kematian dekat untuk dicapai melalui AIDS. Kawasan Asia Pasifik pada akhir 2002 diperkirakan 7,2 juta ODHA, peringkat ke-2 setelah Sub Sahara Afrika.


H. Permasalahan AIDS di Indonesia
Masalah penularan AIDS  di Indonesia sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius. Hal ini disebabkan beberapa hal berikut :
Ø  Sebagian besar  (78,3%) yang diserang oleh penyakit ini adalah kelompok usia produktif (usia 15-39 tahun).
Ø  Jumlah wanita yang dilaporkan tercemar HIV juga semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Ø  Beban ekonomi yang cukup berat akan ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (keluarga pasien) karena dana pelayanan kesehatan akan semakin besar terserap untuk membiayai perawatan pasien AIDS.
Ø  Dari laporan surveilans sampai akhir 1996 diketahui bahwa penularan HIV sebagian besar melalui hubungan seks.

peran perawat dalam kaitannya mengatasi penyakit endemik (DBD) dan kaitannya dengan kependudukan (created by Mursalin PSIK UNSRI 2007)

Perawat

2.1.a Perawat sebagai profesi

Perawat adalah salah satu profesi di bidang kesehatan , sesuai dengan makna dari profesi maka seseorang yang telah mengikuti pendidikan profesi keperawatan seyogyanya mempunyai kemampuan untuk memberikan pelayanan yang etikal dan sesuai standar profesi serta sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya baik melalui pendidikan formal maupun informal, serta mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang dilakukannya (Nurachmah, E 2004)

Perry & Potter (2001), mendifinisikan bahwa seorang perawat dalam tugasnya harus berperan sebagai:kolaborator, pendidik, konselor,change agent dan peneliti. Keperawatan mempunyai karakteristik profesi yaitu memiliki body of knowledge yang berbeda dengan profesi lain, altruistik, memiliki wadah profesi, mempunyai standar dan etika profesi, akontabilitas, otonomi dan kesejawatan (Leddy & Pepper, 1993 dalam Nurachmah, E, 2004)

Berdasarkan karakteristik di atas maka pelayanan keperawatan merupakan pelayanan profesional yang manusiawi untuk memenuhi kebutuhan klien yang unik dan individualistik diberikan oleh tenaga keperawatan yang telah dipersiapkan melalui pendidikan lama dan pengalaman klinik yang memadai. Perawat harus memiliki karakteristik sikap caring yaitu competence,confidence, compassion, conscience and commitment (ANA, 1995 dalam Nurachmah, 2004). Pelayanan keperawatan yang optimal dapat dicapai jika perawat sudah profesional.













2.1.b Peran perawat

Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan secara sosial yang berhubungan dengan fungsi individu pada berbagai kelompok sosial. Tiap individu mempunyai berbagai peran yang terintegrasi dalam pola fungsi individu. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap kedudukannya dalam sistem ( Zaidin Ali , 2002,). Menurut Gaffar (1995) peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.



Hasil Lokakarya Nasional 1983 dikutip oleh Zaidin Ali, 2002, peran perawat mencakup :
Pelaksana pelayanan keperawatan.
Pengelola pelayanan keperawatan dan institusi pendidikan.
Pendidikan keperawatan.
Penelitian dan pengembangan keperawatan.


Berdasarkan standar Departemen Kesehatan (1998) peran perawat sebagai berikut:


Pendidik Keperawatan

Perawat bertanggung jawab dalam bidang pendidikan dan pengajaran ilmu keperawatan kepada klien, tenaga keperawatan, dan tenaga kesehatan lainnya, salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam keperawatan adalah aspek pendidikan karena pendidikan dapat merubah tingkah laku yang merupakan salah satu sasaran dari keperawatan. Dalam hal ini pada pasien haemodialisis yang sangat komplek sekali permasalahannya dari segi bio psikososial spiritual semua perlu diperhatikan.

Pendidikan atau penyuluhan secara efektif tidak hanya diberikan pada pasien sebagai individu yang sakit tetapi juga keluarga sebagai vasilitator dan motivator bagi pasien juga harus dilibatkan.


Pengelola Keperawatan

Perawat bertanggung jawab dalam hal ini administrasi keperawatan baik dirumah sakit maupun di masyaraka, dalam mengelola keperawatan untuk individu, kelompok dan masyarakat.


Peneliti Keperawatan

Perawat diharapkan jadi pembaharu dalam ilmu keperawatan karena memiliki ketrampilan, inisiatif, cepat tanggap terhadap rangsangan dan lingkungan. Kegiatan penelitian pada hakekatnya adalah melakukan evaluasi, mengukur kemampuan, menilai dan mempertimbangkan sejauh mana efektifitas tindakan yang telah diberikan. Dengan penelitian perawat dapat menggerakkan orang lain untuk berbuat sesuatu yang baru berdasarkan kebutuhan, perkembangan dan aspirasi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Perawat dituntut untuk mengikuti perkembangan, meanfaatkan media masa dan informasi lain dari berbagai sumber, selain itu perawat perlu melakukan penelitian, mengembangkan ilmu keperawatan dan meningkatkan praktek profesi keperawatan.


Pelaksana Pelayanan Keperawatan

Perawat sebagai tenaga kesehatan yang spesifik dalam sistem pelayanan keperawatan tetap bersatu dengan pelayanan kesehatan. Setiap anggota tim kesehatan adalah anggota potensial dalam kelompok yang dapat mengatur, merencanakan dan menilai tidakan yang diberikan.



















II.2. Penyakit Endemik

2.2.a Definisi Deman Berdarah (DBD)

Demam berdarah atau demam berdarah dengue adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Setiap serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes Aegypty.(wikipedia.com).

Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus Dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara Tropis dan Subtropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda.

Gambaran Klinis DBD yaitu, demam yang akut, selama 2 hingga 7 hari, dengan 2 atau lebih gejala-gejala berikut : nyeri kepala, nyeri otot, nyeri persendian, bintik-bintik pada kulit sebagai manifestasi perdarahan dan leukopenia.

Di Indonesia Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar keseluruh propinsi di Indonesia. Timbulnya penyakit DBD ditengarai adanya korelasi antara strain dan genetik, tetapi akhir-akhir ini ada tendensi agen penyebab DBD disetiap daerah berbeda. Hal ini kemungkinan adanya faktor geografik, selain faktor genetik dari hospesnya. Selain itu berdasarkan macam manifestasi klinik yang timbul dan tatalaksana DBD secara konvensional sudah berubah.
Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara tropis dan sub tropis. Kejadian penyakit DBD semakin tahun semakin meningkat dengan manifestasi klinis yang berbeda mulai dari yang ringan sampai berat. Manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yang dikenal dengan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).

2.2.b Tanda dan gejala DBD

Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam; ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang, petekial dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan. Pada beberapa pasien, ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare, pilek ringan disertai batuk-batuk. Kondisi waspada ini perlu disikapi dengan pengetahuan yang luas oleh penderita maupun keluarga yang harus segera konsultasi ke Dokter apabila pasien/penderita mengalami demam tinggi 3 hari berturut-turut. Banyak penderita atau keluarga penderita mengalami kondisi fatal karena menganggap ringan gejala-gejala tersebut. Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam.



2.2.c Diagnosis DBD

Mendiagnosis penyakit demam berdarah (DB) jangan cuma dari rendahnya trombosit di dalam darah. Sebab, menurunnya trombosit tidak selalu disebabkan DBD, tetapi bisa juga penyakit lain, seperti demam tifoid atau chikungunya. Demikian dikatakan dr Leonard Nainggolan SpPD dalam simposium bertema Antisipasi dan penanganan DB, di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading Jakarta.

Sebab itu, perlu ada penatalaksanaan dalam menegakkan diagnosis apakah pasien itu terkena DBD atau tidak. Misalnya, perlu pemeriksaan yang lengkap untuk mengetahui apakah pasien tersebut terkena DBD.

Pemeriksaan yang dilakukan adalah tes hematorkit untuk mengetahui kekentalan darah, tes trombosit, tes hemoglobin, leukosit dan serologi dengue. Sebab pada saat terinfeksi virus dengue tidak harus ditandai dengan turunnya trombosit, tetapi bisa dilihat dari turunnya leukosit.

Pada pasien dewasa perlu melakukan pemeriksaan lebih komplit lagi, seperti pemeriksaan hati, tes diabetes maupun ginjal. Sebab, virus dengue bisa menyerang sel-sel hati sehingga perlu juga mengecek fungsi hatinya. Ginjal pun harus diperiksa, mengingat orang yang diberi cairan dalam pengobatan jangan sampai mengganggu fungsi ginjal. Kalau ginjalnya bermasalah, kemudian dokter memberikan cairan sebanyak-banyaknya bisa menyebabkan mampet karena tidak bisa dikeluarkan dari ginjal. Bisa jadi nantinya akan terkena gagal ginjal.



2.2.d Pencegahan dan pengobatan penyakit DBD

ü Pencegahan

Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti (Rozendaal JA., 1997). Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu:

1. Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk dan perbaikan desain rumah.

2. Biologis

Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik.

3. Kimiawi

Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan (fogging) (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras dan mengubur barang-barang yang bisa dijadikan sarang nyamuk. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan kondisi setempat (Deubel V et al., 2001).

ü Pengobatan

Bagian terpenting dari pengobatannya adalah terapi suportif. Sang pasien disarankan untuk menjaga penyerapan makanan, terutama dalam bentuk cairan. Jika hal itu tidak dapat dilakukan, penambahan dengan cairan intravena mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan. Pengobatan alternatif yang umum dikenal adalah dengan meminum jus jambu biji bangkok, namun khasiatnya belum pernah dibuktikan secara medik, akan tetapi jambu biji kenyataannya dapat mengembalikan cairan intravena. Meskipun demikian kombinasi antara manajemen yang dilakukan secara medik dan alternatif harus tetap dipertimbangkan.

Pengobatan alamiah untuk DBD:

ü Jambu biji

Walaupun khasiatnya belum teruji secara medis, tak ada salahnya untuk memberikan jus jambu biji kepada pasien demam berdarah. Sebab, buah eksotis ini mengandung vitamin C yang sangat tinggi. Bahkan kandungan vitamin C di dalamnya bisa tiga sampai enam kali lebih tinggi dibanding buah jeruk. Lebih tinggi 10 kali dibandingkan dengan pepaya dan 10 sampai 30 kali dibandingkan dengan pisang. Vitamin C ini terdapat dalam daging buahnya yang segar. Bijinya yang sering tidak dikonsumsi pun mengandung vitamin C seperti daging buahnya.

Disebutkan dalam buku Foods that Heal, Foods that Harm bahwa 90 gram buah jambu biji lebih dari cukup memenuhi kebutuhan harian vitamin C pada orang dewasa. Buku itu juga menyebutkan meskipun sudah kehilangan hampir 25 persen vitaminnya karena proses pengolahan, jus jambu biji kemasan kotak masih merupakan sumber vitamin C yang baik. Berkat kandungan vitamin C dosis tinggi ini, kekebalan tubuh dalam melawan bakteri akan meningkat. Proses penyembuhan luka pun jadi lebih cepat. Di samping itu, tekanan darah juga menjadi lebih baik berkat buah ini. Ini karena jambu biji merupakan sumber potassium yang baik.

ü Alang-alang

Tanaman liar yang sudah ribuan tahun dikenal masyarakat Cina ini bermanfaat untuk kesehatan. Bahkan saat ini tumbuhan bernama latin Imperata cylindrica (L) Beauv sudah sering diteliti secara ilmiah.

Hasil penelitian tentang tanaman ini menyebutkan bahwa ada kandungan manitol, glukosa, sakharosa, malic acid, citric acid, coixol, arundoin, cylindrin, fernenol, simiarenol, anemonin, asam kersik, damar, dan logam alkali. Dengan kandungan-kandungan itu, alang-alang bersifat antipiretik (menurunkan panas), diuretik (meluruhkan kemih), hemostatik (menghentikan pendarahan), dan menghilangkan haus.

Pengobatan Cina tradisional menyebutkan, alang-alang memiliki sifat manis dan sejuk. Efek pengobatan tanaman ini memasuki meridian paru-paru, lambung, dan usus kecil. Dengan sifat diuretik yang melancarkan air kencing, alang-alang bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit radang ginjal akut. Sifat diuretik yang mengeluarkan cairan tubuh tak berguna ini juga berguna untuk mengontrol tekanan darah yang cenderung tinggi. Sifat hemostatik yang bisa menghentikan pendarahan pada alang-alang dapat juga dimanfaatkan untuk mengatasi mimisan dan pendarahan di dalam.

Herbal ini di dalam tubuh akan menyusup ke dalam organ paru-paru, lambung, dan usus kecil. Ramuan alang-alang sebaiknya tidak diberikan kepada mereka yang fungsi lambungnya lemah dan sering buang air kecil. Bagian tanaman alang-alang yang bisa dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah rimpang, baik yang segar maupun yang telah dikeringkan. Bahan alang-alang ini bisa diperoleh di toko obat Cina.

ü Angkung

"Obat kaisar" adalah julukan untuk angkung atau Angong Niuhuang Wan. Karena keampuhannya mengatasi penyakit pada zaman lampau, angkung hanya dikonsumsi oleh kaisar dan para petinggi di dataran Cina. Angkung diyakini oleh masyarakat Cina bisa membantu menyembuhkan penyakit radang selaput otak, stroke, radang otak, penyakit hati, sampai kejang dan kekurangan cairan tubuh seperti halnya dalam kasus demam berdarah.

Namun, sangat disayangkan harga angkung ternyata amat mahal. Di samping harganya yang mahal, manfaat angkung tidak langsung terasa setelah minum satu atau dua butir. Angkung baru terasa khasiatnya untuk mengatasi penyakit berat setelah diminum secara teratur 6 sampai 8 butir pil setiap hari

ü Daun Dewa

Tumbuhan daun dewa bisa juga dipergunakan sebagai pengganti angkung bila harga pil tersebut dianggap terlalu mahal. Tanaman daun dewa berbentuk semak. Daun adalah bagian tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat. Nama latinnya adalah Gymura segetum (Lour) Merr atau Gynura pseudochina (L) DC dan termasuk ke dalam famili tumbuhan Compositae atau Asteraceae. Tanaman ini dikenal dengan nama daerah bluntas cina, daun dewa, atau samsit. Herbal yang satu ini dikenal kaya dengan berbagai kandungan kimia seperti saponin, minyak asiri, flavonoid, dan tanin. Dengan kandungan kimia tersebut tumbuhan ini bermanfaat sebagai anticoagulant (mencairkan bekuan darah), stimulasi sirkulasi, menghentikan perdarahan, menghilangkan panas, membersihkan racun.



2.2.e Epidemologi molekuler

Wabah pertama terjadi pada tahun 1780-an secara bersamaan di Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Penyakit ini kemudian dikenali dan dinamai pada 1779. Wabah besar global dimulai di Asia tenggrara pada 1950-an dan hingga 1975 demam berdarah ini telah menjadi penyebab kematian utama di antaranya yang terjadi pada anak-anak di daerah tersebut.

Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak negara tropis dan subtropis, karena peningkatan jumlah penderita, menyebarluasnya daerah yang terkena wabah dan manifestasi klinis berat yang merupakan keadaan darurat yaitu Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).

Antara tahun 1975 dan 1995, DD/DBD terdeteksi keberadaannya di 102 negara di dari lima wilayah WHO yaitu : 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Mediterania Timur dan 29 negara di Pasifik Barat. Seluruh wilayah tropis di dunia saat ini telah menjadi hiperendemis dengan ke-empat serotipe virus secara bersama-sama diwilayah Amerika, Asia Pasifik dan Afrika. Indonesia, Myanmar, Thailand masuk kategori A yaitu : KLB/wabah siklis) terulang pada jangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. Menyebar sampai daerah pedesaan, sirkulasi serotipe virus beragam (WHO, 2000).













II.3 Pengaruh DBD terhadap kependudukan

“Serangan demam berdarah dengue (DBD) terus mengganas. Di Jakarta, dalam dua hari jumlah penderita bertambah hingga 600-an orang..
Menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, tercatat 174 kelurahan di 10 kecamatan di Jakarta dinyatakan sebagai daerah waspada kejadian luar biasa (KLB). Tidak tertutup kemungkinan, jumlah daerah KLB ini bertambah.. Di Jakarta Barat terjadi di Kecamatan Kebon Jeruk dan Palmerah. Di Jakarta Selatan menimpa Kecamatan Pasar Minggu dan Kebayoran Lama. Di Jakarta Timur, KLB terjadi di Kecamatan Ciracas dan Kramat Jati.

Kota Bekasi, Jawa Barat, tiga orang meninggal akibat penyakit tersebut selama Januari-Februari. Angka tersebut sama dengan jumlah korban meninggal sepanjang 2003. Sedikitnya 73 pasien dirawat pada periode Januari hingga 17 Februari 2004. Padahal, sepanjang 2003, hanya terjadi 15 kasus DBD.

Serangan DBD juga menghantui warga Jawa Tengah. Sebanyak 29 kabupaten/kota di provinsi tersebut terjangkiti penyakit ini. Kota/kabupaten tersebut, antara lain, Rembang, Kudus, Pati, Jepara, Kota Semarang, Kendal, Pekalongan, Kabupaten Tegal, dan Brebes.”

Dari wacana diatas, dapat kita ketahui bahwa DBD merupakan penyakit yang menyerang pada masyarakat luas, dan penderita penyakit ini rawan mengalami kematian.

Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa faktor utama dari kependudukan adalah vertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan migrasi (perpindahan), jadi akibat dari serangan DBD yang dapat mengakibatkan kematian tentu akan mempengaruhi kepadatan penduduk di suatu tempat. Penderita kronis dari penyakit ini diharuskan dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan secara optimal oleh perawat, sehingga pasien mendapatkan kesehatannya kembali. Penderita kronis ini secara tidak langsung telah mengubah kapadatan penduduk pada suatu wilayah tertentu (tempat tinggalnya) karena penderita ini berpindah tempat tinggal ke rumah sakit untuk sementara.



BAB III. PENUTUP



III.1 Kesimpulan

Dalam demografi ada tiga fenomena yang merupakan bagian penting daripada penduduk yaitu:
kelahiran (vertilitas)
kematian (mortalitas)
perpindahan (migrasi)

Peran utama perawat terhadap penderi penyakit endemik DBD ini adalah memberikan perawatan sesuai dengan diagnosa keperawatannya. Perawatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dari pasien sehingga nyawa pasien dapat diselamatkan. Semakin banyak nyawa pasien yang diselamatkan, maka semakin sedikit tigkat mortalitas pada kawasan endemik tersebut, namun sebaliknya jika banyak penderita DBD mendapatkan perawatan yang kurang optimal, maka tingkat kematian penderita DBD akan semakin meningkat.

Gambaran Klinis DBD yaitu demam yang akut, selama 2 hingga 7 hari, dengan 2 atau lebih gejala-gejala berikut :

1. Nyeri kepala,

2. Nyeri otot,

3. Nyeri persendian,

4. Bintik-bintik pada kulit sebagai manifestasi perdarahan dan leukopenia.



Beberapa alternatif pengobatan alamiah bagi penderi DBD, yaitu dengan mengonsumsi:

ü Jambu biji

ü Alang-alang

ü Angkung

ü Daun Dewa

Walaupun obat alamiah diatas belum diuji secara ilmiah, namun beberapa kelompok masyarkat percaya akan khasiat dari obat tersebut.



III.2 Saran



Saran yang dapat penulis berikan kepada para pembaca adalah, untuk pencegahan DBD ada baiknya kita meningkatkan kebersihan lengkungan kita, dengan beberapa cara yang sering di publikasikan yaitu 3M:
Menutup tempat yang dapat menjadi genangan air,
Menguras bak mandi dalam jangka waktu tertentu,
Mengubur barang-barang yang bisa dijadikan sarang nyamuk.



Saat kita atau orang di sekitar kita merasa memiliki gejala-gejala dari DBD, ada baiknya kita segera berobat ke rumah sakit dan melapor kepada pemerintah daerah setempat agar dapat dilakukan penanganan yang cepat terhadap penyakit endemik ini. Sehingga kita telah membantu pencegahan penyebaran penyakit ini.